Dunia akan mengalami defisit gula pada 2025. Kondisi itu bakal dibayangi tambahan tarif impor dasar dan resiprokal yang digulirkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Defisit gula dunia mengacu pada situasi di mana permintaan global akan gula melebihi pasokan yang tersedia. Defisit gula dunia dapat berdampak pada harga gula, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi berbagai industri yang menggunakan gula sebagai bahan baku.
Bersamaan dengan itu, Indonesia mulai menyeriusi swasembada gula, terutama untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi. Pemerintah RI mempercepat target swasembada gula konsumsi dari 2029 menjadi 2028.
Setelah swasembada beras dan jagung, pemerintah menargetkan swasembada gula sekiar lima juta ton untuk konsumsi nasional dan gula rafinasi untuk memenuhi kebutuhan industri. Masalahnya, swasembada gula di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, terutama disebabkan produksi yang tidak mencukupi dan konsumsi yang tinggi.
Berikut ini sejumlah persoalan lebih detail terkait swasembada gula di Indonesia:
Produktivitas Lahan
Meskipun luas lahan tebu naik, produktivitas lahan justru menurun, bearti meskipun ada lebih banyak lahan untuk tebu, produksi gula secara keseluruhan bahkan anjlok.
Keterbatasan Regenerasi Petani
Rendahnya minat generasi muda menjadi petani tebu juga menjadi masalah untuk meneruskan usaha kaena rendahnya pasokan tenaga kerja di sektor pertanian tebu mengganggu rantai pasok gula.
Alih Fungsi Lahan
Alih fungsi lahan dari pertanian tebu ke tujuan lain, seperti perumahan atau industri, juga menjadi faktor penghambat swasembada gula.
Kualitas Lahan dan Bibit Tebu
Kualitas lahan dan bibit tebu yang menurun secara signifikan menjadi kendala utama dalam meningkatkan produksi gula berdampak pada hasil panen tebu dan membuat prodksi gula tidak efisien.
Perubahan Iklim
Perubahan iklim yang tidak menentu, seperti perubahan pola hujan dan suhu, juga berdampak pada produksi tebu menyebabkan gagal panen atau penurunan hasil panen tebu, sehingga memengaruhi produ
Peran Penyuluhan Pertanian
Lemahnya peran penyuluhan pertanian juga menjadi faktor penghambat sektor pertanian tebu sehingga minimnya pengetahuan dan informasi terbaru tentang teknik pertanian tebu dapat menyebabkan petani kurang efisien dan kurang produktif.
Konsumsi Gula yang Tinggi
Konsumsi gula di Indonesia sangat tinggi, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun industri makanan dan minuman. Produksi gula dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi yang tinggi tersebut, sehingga perlu impor gula untuk memenuhi permintaan.
Ketersediaan Modal
Keterbatasan modal juga menjadi kendala bagi petani tebu untuk meningkatkan produksi dan kualitas tebu mereka. Petani membutuhkan modal untuk membeli pupuk, pestisida, dan teknologi pertanian yang lebih modern
Harga Gula yang Fluktuatif
Fluktuasi harga gula juga menjadi masalah, terutama karena harga gula dunia yang tidak stabil sehingga membuat petani tebu mengalami kerugian jika harga gula jatuh dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Solusi
Untuk mengatasinya, diperlukan upaya yang terpadu dan komprehensif dari pemerintah, petani, dan industri gula. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
• Meningkatkan kualitas lahan dan bibit tebu melalui penelitian dan pengembangan varietas tebu yang lebih unggul.
• Memperbaiki tata kelola pertanian tebu, termasuk pemberian pupuk, pestisida, dan teknologi pertanian yang lebih baik.
• Memberikan dukungan kepada petani tebu, baik berupa modal, pelatihan, maupun informasi.
• Mengembangkan industri gula yang lebih efisien dan berdaya saing.
• Menurunkan konsumsi gula secara bertahap melalui kampanye edukasi dan promosi alternatif gula.
• Menstabilkan harga gula melalui regulasi dan kebijakan yang tepat.
• Meningkatkan peran penyuluhan pertanian dan penyediaan informasi yang lebih luas kepada petani.
Tanggapan
Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan di Jakarta, mengakui, produksi gula konsumsi nasional masih belum memadai untuk kebutuhan dalam negeri.
Selain gula konsumsi, pemerintah juga menyiapkan upaya memenuhi kebutuhan gula rafinasi untuk sektor industri. “Semua kita bisa, dalam tiga tahun ini kita targetkan swasembada, jumlahnya kira-kira 5 juta ton,” kata pak menko.
Untuk mengejar target tersebut, pemerintah tengah menyempurnakan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).
Penyempurnaan ini dilakukan bersamaan dengan revisi Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2024 terkait pembentukan Satgas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke. Meski target telah ditetapkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi gula nasional masih defisit hingga 63 persen.
Kebutuhan gula dalam negeri pada 2023 mencapai 6,08 juta ton per tahun, sementara produksi baru mencapai 2,27 juta ton per tahun. Artinya, Indonesia masih bergantung pada impor untuk mencukupi kebutuhan konsumsi dan industri. Tahun ini, pemerintah kembali mengizinkan impor gula kristal mentah (raw sugar) sebanyak 200.000 ton untuk menambah cadangan pangan pemerintah.
“Gula kristal mentah ini dipakai untuk cadangan pangan pemerintah,” ungkap Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi di Kantor Kemenko Pangan. Rencana percepatan swasembada ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada gula impor dalam beberapa tahun ke depan, meski jalan menuju swasembada masih penuh tantangan.
Pemerintah berupaya mencapainya antara lain dengan peningkatan produktivitas tebu menjadi 93 ton per hektare. Selain menambah luas area perkebunan tebu hingga 700 ribu hektare, pemerintah juga berencana memperbaiki praktik pertanian serta peningkatan efisiensi, pemanfaatan, dan kapasitas pabrik gula agar dapat mencapai rendemen sebesar 11,2 persen.